Friday 24 June 2011

Persepsi Dukungan Organisasi / Perceived Organization Support (POS)

a. Pengertian Persepsi
            Persepsi merupakan suatu proses yang mana seseorang mengorganisasikan dan menginterprestasikan kesan-kesan sensorinya dalam usahanya memberikan suatu makna tertentu pada lingkungannya (Siagian, 2002: 100). Lebih lanjut Siagian mengatakan, pesepsi tiap orang dapat berbeda-beda karena persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh keinginan dari individu tersebut. Sementara itu menurut Walgito (2002: 69), persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan terhadap suatu stimulus yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera tersebut. Seseorang memilikli perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman-pengalaman yang tidak sama yang menyebabkan persepsi orang terhadap stimulus atau objek yang sama dapat berbeda-beda.
            Menurut Ivancevich (2007: 118) Persepsi memang mempengaruhi realitas, ini adalah pemikiran di balik kecenderungan dimana ekspektasi seseorang terhadap individu berperilaku dengan cara yang konsisten dengan ekspektasi tersebut. Ramalan yang menyebabkan orang untuk memenuhi ekspektasi disebut dengan efek Pygmalion. Sedangkan ramalan yang menyebabkan orang berperilaku dengan cara negatif untuk memenuhi ekspektasi yang rendah disebut dengan efek Golem. Persepsi berkenaan dengan fenomena dimana hubungan antara stimulus dan pengalaman lebih kompleks dari pada proses sensasi. Luthans (2005: 194) mendefinisikan Persepsi merupakan interpretasi unik dari suatu situasi, bukan rekaman situasi. Singkatnya persepsi merupakan proses kognitif kompleks yang menghasilkan gambaran dunia yang unik, yang mungkin agak berbeda dari realita. Dalam Rivai (2005: 359) Persepsi adalah proses kognitif yang dipahami oleh setiap orang dalam memahami sesuatu baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perasaan. Persepsi seseorang dapat dipengaruhi beberapa faktor, antara lain keadaan psikologi, keluarga dan faktor kebudayaan.
            Selanjutnya, menurut Rivai dikatakan bahwa persepsi merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.  Persepsi akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap baik keamanan kerja maupun Ketidakamanan Kerja yang di alami secara langsung dalam organisasinya. Persepsi merefleksikan keinginan karyawan akan keberadaanya dalam organisasi hal ini mengarah pada Komitmen karyawan dari organisasi dimana karyawan bekerja.
Menurut Robbins (2008:175) persepsi adalah proses dimana individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberi arti bagi lingkungan mereka. 
b. Persepsi Dukungan Organisasi
Persepsi dukungan organisasi dapat didefinisikan sebagai persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi memberi dukungan kepada karyawan dan sejauh mana kesiapan organisasi dalam memberikan bantuan saat di butuhkan. Menurut Eisenberger dan Rhoades (2002; 701) persepsi terhadap dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli pada kesejahteraan mereka. Jika karyawan menganggap bahwa dukungan organisasi yang di terimanya tinggi, maka karyawan tersebut akan menyatukan keanggotaan sebagai anggota organisasi ke dalam identitas diri mereka dan kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi yang lebih positif terhadap organisasi tersebut. Dengan menyatunya keanggotaan dalam organisasi dengan identitas karyawan, maka karyawan tersebut merasa bagian dari organisasi dan merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi dan memberikan kinerja terbaiknya pada organisasinya. Penelitian yang dilakukan yang menggunakan sampel karyawan dari berbagai organisasi. Dari penelitian Rhoades (2002: 705) pada sampel karyawan dari berbagai organnisasi ditemukan bahwa karyawan yang merasa bahwa dirinya mendapatkan dukungan dari organisasi akan memiliki rasa kebermaknaan dalam diri karyawan tersebut. Hal inilah yang akan meningkatkan komitmen pada diri karyawan. Komitmen inilah yang pada akhirnya akan mendorong karyawan untuk berusaha membantu organisasi mencapai tujuannya, dan meningkatkan harapan bahwa performa kerja akan diperhatikan dan dihargai oleh organisasi.
            Rhoades dan Eisenberger (2002: 698) mengungkapkan persepsi terhadap dukungan organisasi juga dianggap sebagai sebuah keyakinan global yang di bentuk oleh tiap karyawan mengenai penilaian mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi yang di bentuk berdasarkan pada pengalaman mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi, penerimaan sumber daya, interaksi dengan agen organisasinya (misalnya supervisor) dan persepsi mereka mengenai kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan mereka.
             Bagi karyawan, organisasi merupakan sumber penting bagai kebutuhan sosioemosional mereka seperti respect (penghargaan), caring (kepedulian), dan  tangible benefit seperti gaji dan tunjangan kesehatan. Perasaan dihargai oleh organisasi membantu mempertemukan kebutuhan karyawan akan approval (persetujuan), esteem (penghargaan) dan affiliation (keanggotaan). Penilaian positif dari organisasi juga meningkatkan kepercayaan bahwa peningkatan usaha dalam bekerja akan dihargai. Oleh karena itu karyawan akan memberikan perhatian yang lebih atas penghargaan yang mereka terima dari atasan mereka. Penilaian positif dari organisasi juga meningkatkan kepercayaan bahwa peningkatan usaha dalam bekerja akan dihargai. Oleh karena itu karyawan akan memberikan perhatian yang lebih atas penghargaan yang mereka terima dari atasan mereka.
            Masih menurut Rhoades dan Eisenberger (2002: 698) walaupun organisasi menghargai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawannya itu penting, namun penelitian menunjukkan bahwa para karyawan menggabungkan dukungan nyata yang ditunjukkan oleh organisasi/perusahaan dengan persepsi individual mereka. Para karyawan yakin bahwa organisasi/perusahaan mempunyai tujuan dan orientasi yang positif atau negatif terhadap mereka yang pada akhirnya akan berpengaruh pada penghargaan terhadap kontribusi dan kesejahteraan karyawan tersebut.
c. Aspek-aspek yang mempengaruhi Persepsi Dukungan Organisasi
             Menurut Robbins (2008: 103) dukungan organisasional yang di rasakan adalah tingkat sampai dimana karyawan yakin organisasi mengahargai kontribusi mereka dan peduli dengan kesejahteraan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa individu merasa organisasi mereka bersifat suportif ketika penghargaan di pertimbangkan dengan adil, karyawan mempunyai suara dalam pengambilan keputusan dan pengawas mereka di anggap suportif. Jika dukungan organisasional yang dirasa positif dan komitmen organiasinya kuat maka kemungkinan akan memberikan kepuasan kerja yang tinggi. Menurut survey yang dilakukan Heavy-Duty Division Springfield Remanufacturing dalam Robbins (2008: 105) keterlibatan karyawan secara katif dalam keputusan divisi dan profitabilitas adalah tertinggi dalam seluruh perusahaan, manajemen beranggapan bahwa moral yang ada juga tinggi. Kebijaksanaan dan praktik yang dianggap objektif dan adil oleh manajemen mungkin dianggap tidak adil oleh karyawan pada umumnya atau oleh kelompok karyawan tertentu. Apabila persepsi menyimpang ini menimbulkan sikap negative tentang pekerjaan dan organisasi, adalah penting bagi manajemen untuk mengetahuinya, karena perilaku karyawan di dasarkan pada persepsi bukan kenyataan. Sigit (2003: 19-21) menjelaskan beberapa faktor kompleks yang masuk dalam persepsi di antaranya:
·            Hallo Effect (pengaruh halo) ialah memberikan tambahan penilaian (judgement) kepada seseorang atau sesuatu yang masih bertalian dengan hasil persepsi yang telah di buat. Halo effect juga dapat di artikan adanya atau hadirnya sesuatu, sehingga kesimpulan yang di buat tidak murni.
·            Attribution (membuat atribusi), Atribusi mengacu pada bagaimana orang menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau dirinya sendiri. Atribusi adalah proses kognitif dimana orang menarik kesimpulan mengenai faktor yang mempengaruhi atau masuk akal terhadap perilaku orang lain. Ada dua jenis atribusi yaitu atribusi disposisional, yang menganggap perilaku seseorang berasal dari faktor internal seperti ciri kepribadian, motivasi, atau kemampuan, dan atribusi situasional yang menghubungkan perilaku seseorang dengan faktor eksternal seperti peralatan atau pengaruh sosial dari orang lain. 
·            Stereotyping (memberi stereotipe) ialah memberi sifat kepada seseorang semata-mata atas dasar sifat yang ada pada kelompok, rasa tau bangsa secara umum sebagaimana pernah di dengar atau diketahui dari sumber lain. Stereotip menghubungkan ciri yang baik atau tidak baik pada orang yang sedang di nilai, misalnya orang yang berasal dari pulau Bali beragama Hindu, padahal belum tentu orang tersebut beragama hindu,
·            Projection (proyeksi), ialah suatu mekanisme meramal, apa yang akan dilakukan oleh orang yang di persepsi, dan sekaligus orang yang mempersepsi itu melakukan persiapan pertahanan untuk melindungi dirinya terhadap apa yang akan di perbuat orang yang di persepsi.
            Persepsi tidak muncul begitu saja ada beberapa faktor yang melatar belakangi munculnya persepsi. Faktor-faktor tersebut menyebabkan orang dapat mempunyai interprestasi yang berbeda-beda mengenai suatu stimulus yang sama. Walgito (2002: 70-71) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, antara lain :
a. Objek yang dipersepsi
     Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.
b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf
     Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran.
c. Perhatian 
     Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau 30 konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang diajukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.
            Dalam penelitian yang di kemukakan oleh Saad et al (2008: 25) Persepsi merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi Komitmen karyawan karyawan, kepuasan kerja dan kualitas hidup secara umum. Banyak peneliti yang mempelajari hubungan antara dukungan organisasi dan kualitas hidup karyawan dan menemukan bahwa hal tersebut memiliki dampak positif terhadap Komitmen karyawan, kinerja karyawan sama seperti kepuasan kerja menurut Rhoades, et al. (2002) dalam Dixon et al (2007: 25). Menurut Robbins (2008: 175-176) ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu:
a.       Pelaku persepsi
Apabila seorang individu memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran tersebut dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individual tersebut. Karakteristik yang mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan, pengalaman masa lalu, dan pengharapan.
b.      Target persepsi
Karakteristik-karakteristik dari target yang diamati dapat mempengaruhi persepsi.
c.       Situasi
Unsur-unsur dalam lingkungan sekitar sepeti waktu, keadaan tempat bekerja, dan keadan sosial dapat mempengaruhi persepsi seseorang. Persepsi harus dilihat secara kontesktual yang berarti dalam situasi mana persepsi tersebut timbul dan perlu pula mendapat perhatian.
Robbins (2008: 175) memaparkan bahwa terdapat faktor-faktor yang beroperasi untuk membentuk dan terkadang merubah persepsi, faktor-faktor ini bisa terletak dalam diri pembentuk persepsi, dalam diri objek atau target yang diartikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi tersebut dibuat. 
            Robbins mengemukakan (2008: 185) ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa individu akan berusaha untuk mengesahkan persepsi mereka tentang kenyataan, bahkan ketika persepsi-persepsi tersebut salah. Karakteristik ini sangat relevan ketika kita mempertimbangkan harapan kinerja dalam pekerjaan.
            Aspek-aspek persepsi dukungan organisasi terhadap kinerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek persepsi yang dikemukakan oleh Branca, Woodworth dan Marquis dalam Walgito (2002: 69) yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Aspek-aspek tersebut diuraikan sebagai berikut:
 a.       Aspek Kognitif
Aspek kognitif merupakan komponen sikap yang berisi kepercayaan individu terhadap objek sikap. Kepercayaan itu muncul karena adanya suatu bentuk yang telah terpolakan dalam pikiran individu. Kepercayaan itu juga datang dari apa yang pernah individu lihat dan ketahui sehingga membentuk suatu ide atau gagasan tentang karakteristik objek. Kepercayaan ini dapat menjadi dasar pengetahuan bagi individu tentang suatu objek dan kepercayaan ini menyederhanakan fenomena dan konsep yang dilihat dan yang ditemui. Perlu juga dikemukakan bahwa kepercayaan tidak selamanya akurat, karena kepercayaan itu muncul juga disebabkan oleh kurangnya informasi tentang objek.
b.      Aspek Afektif
Aspek afektif ini menyangkut kesan atau perasaan individu dalam menafsirkan stimulus sehingga stimulus tersebut disadari. Aspek afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional subjektif dari individu terhadap objek persepsi, berisi perasaan memihak atau tidak memihak, mendukung atau tidak mendukung terhadap objek yang dipersepsi.
c.       Aspek Konatif
Aspek konatif menunjukkan bagaimana perilaku dan kecenderungan  berperilaku yang ada dalam diri individu berkaitan dengan objek sikap yang dihadapi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Komponen konatif meliputi perilaku yang tidak hanya dilihat secara langsung, tetapi meliputi pula bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan yang diucapkan oleh seseorang berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu objek yang dipersepsi. 

Referensi:
Rivai, Veithzal, 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan : Dari Teori ke Praktik. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Rhoades, Eisenberger, 2002. Perceived organizational support: A review of the literature. Journal of Applied Psychology, 87, 698–714.
Saad, Samah dan Juhdi, 2008. Employees’ Perception on Quality Work Life and Job Satisfaction in a Private Higher Learning Institution, International Review of Business Research Papers, Vol. 4 No.3 June  Pp.23-34.
Siagian, Sondang P., 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara, Jakarta.

Sigit, Soehardi, Prof. Dr, 2003. Esensi Perilaku Organisasional, BPFE universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta. 
Walgito, Bimo, 2002. Pengantar Psikologi Umum, Andi, Yogyakarta.





Fenomena Outsourcing

Assalamualaikum
Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Perusahaan outsourcing sendiri, pada dasarnya adalah perantara antara karyawan dan perusahaan. Perusahaan outsourcing menampung sejumlah orang yang membutuhkan pekerjaan dan menyalurkannya ke perusahaan yang membutuhkan karyawan. Untuk menjalankan usahanya tersebut tentunya mereka membutuhkan biaya operasional. Biaya ini biasanya mereka dapatkan melalui pemotongan gaji karyawan atau mereka akan menagihkan langsung ke perusahaan karena telah menggunakan jasa mereka.
Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Berikut beberapa pengertian outsourcing :
1.   Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
2.   Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja, pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004). Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.
3.   Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
4.   Alih daya (bahasa Inggris: outsourcing atau contracting out) adalah pemindahan pekerjaan (operasi) dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal utama (bisnis utama) dari perusahaan tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/Outsourcing)  
5.   Menurut Maher dan Selto (2003; 555) menyatakan “Outsourcing is the acquisition of goods or services from an outside provider”.
6.   Chaang -Yung Kung dan Tzung-Ming Yan “ Outsourcing is defined as the purchased of value-creating activities in which enterprises can make long-term agreements with external suppliers”.
Ada dua jenis outsourcing, yaitu paying agent (labor supply) dan full agent (full outsource) (Artikel managmentfiles.com, Rinella Putri, Q2 2010, Prospek Tenaga Kerja Optimis). Paying agent adalah perusahaan outsource yang menyediakan tenaga kerja saja, sedang full agent selain menyediakan tenaga kerja juga mempunyai fasilitas produksi sendiri. Apa yang dikerjakan full agent lebih jelas karena semua karyawan, peralatan, tempat, pengawas semua menjadi tanggung jawab perusahaan outsource. Sebagai contoh perusahan call center, perusahaan tersebut mendapat bayaran misalnya Rp. 1000 per panggilan. Selanjutnya semua menjadi tanggung jawab perusahaan outsource tersebut mulai dari penyediaan tempat, peralatan, karyawan dan lain – lain. Dari kedua jenis perusahaan tersebut yang lebih banyak dipraktekkan di Indonesia adalah yang pertama. Artinya perusahaan outsource hanya menyediakan tenaga kerja dan mengurusi SDM serta administrasinya saja sedang tempat, pengawas dan semua alat produksi berada di perusahaan pengguna.
Outsourcing hadir karena adanya keinginan dari perusahaan (perusahaan pengguna/pemesan – user/principal) untuk menyerahkan sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain (perusahaan outsourcing) agar perusahaan dapat berkonsentrasi penuh pada proses bisnis inti perusahaan (core business). Karena itu, pekerjaan yang di-outsourcing-kan bukanlah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan inti bisnis perusahaan, melainkan pekerjaan penunjang (staff level ke bawah), meski terkadang ada juga posisi manajerial yang di-outsourcing-kan, namun tetap saja hanya untuk pekerjaan dalam tenggat waktu tertentu (proyek).
Keuntungan dan kerugian Outsourcing
Beberapa alasan perusahaan melakukan outsourcing (Wikipedia, the free Encyclopedia) adalah  Cost saving (mengurangi seluruh biaya pelayanan pada bisnis), Focus on core bisnis (sumber daya difokuskan pada core bisnis/ tujuan bisnis), Cost restructuring (outsourcing merubah biaya dari biaya tetap menjadi biaya variabel karena  biaya variabel lebih mudah di prediksi), improve quality (meningkatkan kualitas melalui kontrak jasa  dengan perjanjian pelayanan baru), knowledge (memperoleh aset intelektual dengan pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas), Contract (jasa tersedia melalui kontrak jaminan hukum dengan jaminan hukum dan  keuangan), Operational expertise (memiliki pengalaman yang sulit jika dikembangkan sendiri), Acces to talent (outsource menyediakan sumber daya dengan keahlian dan bakat yang lebih luas), capacity management (peningkatan metode jasa dan teknologi dari kapasitas manajemen dimana risiko over kapasitas ditanggung oleh supplier/penyedia jasa outsourcing).
Implikasi negatif dari outsourcing terhadap manajemen, perusahaan dan konsumen antara lain, Quality risk (risiko kualitas yang bisa mengakibatkan kualitas produksi menurun), quality of service (kualitas layanan diukur melalui service level agreement/SLA dalam kontrak, tetapi tidak ada ukuran tertentu yang jelas mengenai SLA), productivity (produktifitas nyata berkurang karena adanya saving cost), staff turnover (terlalu seringnya turnover mengakibatkan pengetahuan dan kualitas berada pada tingkat yang rendah), language skills (adanya perbedaan bahasa dan aksen mengakibatkan terjadinya mis-komunikasi), failure to deliver bisnis tranformation (transformasi bisnis yang dijanjikan oleh perusahaan outsource seringkali gagal), security (keamanan merupakan hal paling berisiko, contohnya di perbankan saat seorang pekerja outsourcing memperoleh akses pada account nasabah maka bisa dengan mudah melakukan transfer ke rekeningnya sendiri), qualifications of outsource (outsourcing bisa menggantikan pekerja dengan kualitas yang lebih rendah pada bidang yang sama), Standpoint (sudut pandang dari tenaga outsourcing bisa merupakan ancaman, karena mereka merasa hanya merupakan tenaga lepas yang bisa di PHK sewaktu-waktu). 
Berdasarkan hasil penelitian Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008  terhadap 44 perusahaan dari berbagai industri terdapat lebih dari 50% perusahaan di Indonesia menggunakan tenaga outsource, yaitu sebesar 73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak menggunakan tenaga outsource dalam operasional di perusahaannya. Dari 73% perusahaan yang menggunakan tenaga outsource diketahui 5 alasan menggunakan outsourcing, yaitu agar perusahaan dapat fokus terhadap core business (33.75%), untuk menghemat biaya operasional (28,75%), turn over karyawan menjadi rendah (15%), modernisasi dunia usaha dan lainnya, masing-masing sebesar 11.25%. Adapun yang menjadi alasan lainnya adalah :
a.       Efektifitas manpower
b.      Tidak perlu mengembangkan SDM untuk pekerjaan yang bukan utama.
c.       Memberdayakan anak perusahaan.
d.      Dealing with unpredicted business condition.
Permasalahan yang sering terjadi hampir diseluruh dunia adalah karyawan tidak memiliki hak untuk memperoleh tunjangan dan lain-lain, kecuali di beberapa perusahaan bergengsi yang sudah mendunia justru para tenaga ahli memperoleh tunjangan serta fasilitas yang lebih baik.
Berbeda dengan karyawan biasa apabila hasil kerja tidak memuaskan perusahaan bisa dengan mudah memutuskan kontrak kerja atau PHK karena karyawan outsourcing tidak memiliki akses langsung ke perusahaan di mana mereka ditempatkan. Sehingga hak-hak mereka secara hukum ditiadakan, ikatan kerja mereka hanya dengan perusahaan outsource... hal ini menjadi kendala yang besar bagi kebanyakan karyawan outsourcing.

Wassalam


Komitmen Karyawan

Komitmen karyawan
a. Pengertian Komitmen karyawan
            Gibson (2006: 184) menyatakan Komitmen karyawan adalah rasa identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang diungkapkan oleh seorang karyawan terhadap organisasi atau unit organisasi. Menurut Wiyono (1999: 34),  komitmen adalah  tekad  bulat untuk melakukan sesuatu dengan niat yang sungguh-sungguh melakukan. Komitmen yang baik adalah komitmen yang dimulai dari pimpinan. Sedangkan menurut Robbins (2001: 140), komitmen karyawan pada suatu organisasi adalah suatu keadaan dimana karyawan memihak kepada organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam organisasi itu. Tanpa komitmen, sukar mengharapkan partisipasi aktif dan mendalam dari sumber daya manusia. Tapi komitmen bukanlah sesuatu yang dapat hadir begitu saja, komitmen harus dilahirkan. Oleh sebab itu komitmen harus dipelihara agar tetap tumbuh dan eksis disanubari sumber daya manusia. Dengan cara dan teknik yang tepat pimpinan yang baik bisa menciptakan dan menumbuhkan komitmen.
            Husselid dan Day dalam McKenna and Nich (2000: 245) menyatakan bahwa komitmen karyawan dapat mengurangi keinginan untuk melepaskan diri dari organisasi atau unit kerja. Mereka cenderung menunjukkan keterlibatan yang tinggi diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Selain itu karyawan yang menunjukkan sikap komitmennya akan merasa lebih senang dengan pekerjaan mereka, berkurangnya membuang-buang waktu dalam bekerja dan berkurangnya kemungkinan untuk meninggalkan lingkungan kerja. Adanya rasa keterikatan pada falsafah dan satuan kerja kemungkinan untuk bertahan dalam satuan kerja akan lebih tinggi ketimbang karyawan yang tidak mempunyai rasa keterikatan pada satuan kerja.
            Shadur, Kinzle dan Rodwell (1999: 481) memberikan pengertian bahwa karyawan yang mempunyai komitmen terhadap satuan kerja menunjukkan kuatnya pengenalan dan keterlibatan karyawan dalam satuan kerja yang dinyatakan sebagai berikut: ”Organizational commitment was defined as the strength of an individual’s identification with and involvement in a particular organization”. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap satuan kerja kemungkinan untuk tetap bertahan lebih tinggi dari pada karyawan yang tidak mempunyai komitmen.  Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan dimana karyawan memihak dan peduli kepada organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam organisasi itu. Bentuk keterpihakan dan kepedulian karyawan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti terlibat dalam kegiatan organisasi, berkurangnya membuang-buang waktu dalam bekerja dan berkurangnya kemungkinan meninggalkan lingkungan kerja.
            Menurut Biljana Dordevic (2004: 113) dalam situasi perubahan radikal seperti terjadinya merger, akusisi dan downsizing, karyawan akan merasakan komitmen terhadap organisasinya berubah, biasanya berkurang. Alasan utama yang mengurangi komitmen terhadap organisasi adalah:
1. Job Insecurity
2. Berkurangnya kepercayaan
3. Job redesign
4. Meningkatnya stress
Lebih lanjut menurut Biljana (2004: 116) penting bagi manajemen untuk membangun dan mengelola komitmen karyawan. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa komitmen afektif memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap keberhasilan tujuan dari suatu organisasi. Sehingga harus diwujudkan kebijakan yang akan meningkatkan komitmen tersebut. Kebijakan ini dibagi dalam dua bagian: kebijakan jangka pendek dan jangka panjang.
Kebijakan jangka pendek untuk meningkatkan komitmen afektif diantaranya
1.   memperlakukan karyawan dengan penghargaan dan pilihan, karyawan harus merasa bahwa mereka bernilai dan berharga.
2.   organisasi berorientasi pelanggan: karyawan cenderung mengidentifikasi organisasi yang menghargai mereka seperti seorang pelanggan.
3.   manajemen harus menjabarkan secara jelas pekerjaan dan tanggung jawab karyawan: supervisor harus berkomunikasi secara baik kepada karyawannya apa yang harus dilakukan dan apa harapan mereka.
4.   mendesain stimulasi kerja: tugas yang mengizinkan karyawan menggunakan kemampuan mereka, pengetahuan profesionalnya dan penilaian, penawaran job enrichment, dan otonomi karyawan, dan
5.   menyediakan informasi berkualitas kepada karyawan mengenai rencana perusahaan dan aktivitasnya; hal ini sangat penting selama perusahaan mengalami krisis. Karena pada saat itu karyawan akan merasa tidak aman dan tidak pasti mengenai masa depannya.
Kebijakan jangka panjang untuk meningkatkan komitmen afektif berasal dari  kegiatan manajemen SDM nya yang akan berguna dalam jangka waktu lama, antara lain:
·         Rekruitmen dan seleksi.
·         Sosialisasi dan pelatihan.
·         Perjanjian dan promosi
·         Kompensasi dan keuntungan.
b. Aspek-aspek yang mempengaruhi Komitmen karyawan
            Menurut Lee (1987: 67), untuk menggerakkan komitmen karyawan yang pada suatu organisasi, maka pihak manajemen/pimpinan organisasi dapat menggunakan lima faktor pendekatan utama yaitu;
1. Understanding employee work value
 2. Communication job performance standard
3. Linking performance to reward
 4. Providing effective performance evaluations
 5. Offering support for managers and supervisory.
Menurut Schultz & Schultz (2002: 255), dan Allen &Meyer (1984: 373), komitmen terhadap organisasi dapat dibedakan dalam tiga jenis, masing-masing komitmen tersebut memiliki tingkat atau derajat yang berbeda. Ketiga jenis komitmen terhadap organisasi tersebut adalah:
a.          Continuance commitment (komitmen kontinuan/rasional), adalah komitmen yang berdasarkan persepsi individu tentang kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan organisasi. Komitmen ini bisa disebut komitmen rasional. Seorang anggota tetap bertahan atau meninggalkan organisasi berdasarkan pertimbangan untung rugi yang diperolehnya. Anggota dengan tipe komitmen ini akan tetap bergabung dengan organisasi karena anggota tersebut membutuhkan organisasi. Menurut Schultz & Schultz (2002: 255) komitmen kontinuan ini juga disebut dengan behavioral commitment (komitmen sebagai perilaku), yaitu suatu proses yang menyebabkan individu menjadi terikat dengan organisasi dan bagaimana menghadapi masalah yang terjadi. Individu menjadi terikat pada kegiatan-kegiatan organisasi karena merasa investasinya di masa lalu akan hilang bila individu menghentikan kegiatan tersebut.
b.         Normative Commitment (komitmen normatif) merupakan komitmen yang meliputi perasaan-perasaan individu tentang kewajiban dan tanggungjawab yang harus diberikan kepada organisasi, sehingga individu tetap tinggal di organisasi karena merasa wajib untuk loyal terhadap organisasi. Individu dengan tipe komitmen ini, akan tetap menjadi anggota organisasi karena harus mengerjakan tanggungjawabnya.
c.          Affective Commitment (komitmen afektif) berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan individu di dalam suatu organisasi. Individu yang mempunyai komitmen ini mempunyai keterikatan emosional terhadap organisasi yang tercermin melalui keterlibatan dan perasaan senang serta menikmati peranannya dalam organisasi. Individu akan tetap bergabung dengan organisasi dikarenakan keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Menurut Schultz & Schultz (2002: 255) komitmen afektif disebut juga dengan attitudinal commitment (komitmen sebagai sikap), yaitu keadaan saat individu mempertimbangkan sejauhmana nilai dan tujuannya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Individu dengan tipe komitmen ini akan mengidentifikasikan dirinya dengan nilai dan tujuan organisasi, dan ingin mempertahankan keanggotaannya.
Selanjutnya secara singkat Allen dan Meyer (1990: 236) mengilustrasikan perbedaan dari ketiga dimensi tersebut sebagai berikut:
"Employees with strong affective commitment remain because they want to, those with strong continuance commitment remain because they need to, and those with strong normative commitment because they feel they thought to do so".
            Berdasarkan pendapat Allen dan Meyer tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa keputusan seseorang tetap bertahan diorganisasi memiliki motivasi yang berbeda-beda. Seseorang dengan komitmen efektif yang kuat, bertahan di organisasi, karena memang dia menyukai organisasi itu, sedangkan seseorang dengan komitmen continuance yang kuat bertahan di organisasi, karena alasan kebutuhan hidup sebagai dorongan utamanya. Sedangkan seseorang dengan komitmen normatif yang kuat tetap bertahan di organisasi, karena alasan moralitas. Namun demikian, apapun sumber komitmen, secara substansial wujud komitmen adalah sama yaitu penerimaan individu terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan individu berupaya untuk mencapai tujuan organisasi, keinginan tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. 
Referensi

Robbins, P. Stephen, 2003. Organizational Behavior. Edisi 9. Prentice Hall International Inc. New Jersey.

Wiyono, F.X. Isbagyo, 1999. Menyamakan Persepsi tentang Komitmen dan Manajemen, Edisi I No. 126. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Meyer, Allen J., 1990. The Measurement and Antecedents of Affective, Continuance,and Normative Commitment to the Organization. Journal of Occupational Psychology. New York.
Schultz, D. dan Schultz, S. E., 2002. Psychology and Work Today. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Lee, Chris., 1987. The New Employment Contract. Training Journal.Vol. 24. No. 2 December. New York
Dordevic, Biljana, 2004. Employee Commitment In Times of Radical Organizational Changes, Facta Universitatis, series: Economic and Organizational Vol. 2, No.2, pp. 111-117
Shadur, M.A., Kinzle, R. and Rodwell, J.J., 1999. The Relations Between Organization Climate and Employee Perceptions of Involvement. Group and Organization Management, Vol.24, 4 December. Boston