Komitmen karyawan
a. Pengertian Komitmen karyawan
Gibson (2006: 184) menyatakan Komitmen karyawan adalah rasa identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang diungkapkan oleh seorang karyawan terhadap organisasi atau unit organisasi. Menurut Wiyono (1999: 34), komitmen adalah tekad bulat untuk melakukan sesuatu dengan niat yang sungguh-sungguh melakukan. Komitmen yang baik adalah komitmen yang dimulai dari pimpinan. Sedangkan menurut Robbins (2001: 140), komitmen karyawan pada suatu organisasi adalah suatu keadaan dimana karyawan memihak kepada organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam organisasi itu. Tanpa komitmen, sukar mengharapkan partisipasi aktif dan mendalam dari sumber daya manusia. Tapi komitmen bukanlah sesuatu yang dapat hadir begitu saja, komitmen harus dilahirkan. Oleh sebab itu komitmen harus dipelihara agar tetap tumbuh dan eksis disanubari sumber daya manusia. Dengan cara dan teknik yang tepat pimpinan yang baik bisa menciptakan dan menumbuhkan komitmen.
Husselid dan Day dalam McKenna and Nich (2000: 245) menyatakan bahwa komitmen karyawan dapat mengurangi keinginan untuk melepaskan diri dari organisasi atau unit kerja. Mereka cenderung menunjukkan keterlibatan yang tinggi diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Selain itu karyawan yang menunjukkan sikap komitmennya akan merasa lebih senang dengan pekerjaan mereka, berkurangnya membuang-buang waktu dalam bekerja dan berkurangnya kemungkinan untuk meninggalkan lingkungan kerja. Adanya rasa keterikatan pada falsafah dan satuan kerja kemungkinan untuk bertahan dalam satuan kerja akan lebih tinggi ketimbang karyawan yang tidak mempunyai rasa keterikatan pada satuan kerja.
Shadur, Kinzle dan Rodwell (1999: 481) memberikan pengertian bahwa karyawan yang mempunyai komitmen terhadap satuan kerja menunjukkan kuatnya pengenalan dan keterlibatan karyawan dalam satuan kerja yang dinyatakan sebagai berikut: ”Organizational commitment was defined as the strength of an individual’s identification with and involvement in a particular organization”. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap satuan kerja kemungkinan untuk tetap bertahan lebih tinggi dari pada karyawan yang tidak mempunyai komitmen. Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan dimana karyawan memihak dan peduli kepada organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam organisasi itu. Bentuk keterpihakan dan kepedulian karyawan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti terlibat dalam kegiatan organisasi, berkurangnya membuang-buang waktu dalam bekerja dan berkurangnya kemungkinan meninggalkan lingkungan kerja.
Menurut Biljana Dordevic (2004: 113) dalam situasi perubahan radikal seperti terjadinya merger, akusisi dan downsizing, karyawan akan merasakan komitmen terhadap organisasinya berubah, biasanya berkurang. Alasan utama yang mengurangi komitmen terhadap organisasi adalah:
1. Job Insecurity
2. Berkurangnya kepercayaan
3. Job redesign
4. Meningkatnya stress
Lebih lanjut menurut Biljana (2004: 116) penting bagi manajemen untuk membangun dan mengelola komitmen karyawan. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa komitmen afektif memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap keberhasilan tujuan dari suatu organisasi. Sehingga harus diwujudkan kebijakan yang akan meningkatkan komitmen tersebut. Kebijakan ini dibagi dalam dua bagian: kebijakan jangka pendek dan jangka panjang.
Kebijakan jangka pendek untuk meningkatkan komitmen afektif diantaranya
1. memperlakukan karyawan dengan penghargaan dan pilihan, karyawan harus merasa bahwa mereka bernilai dan berharga.
2. organisasi berorientasi pelanggan: karyawan cenderung mengidentifikasi organisasi yang menghargai mereka seperti seorang pelanggan.
3. manajemen harus menjabarkan secara jelas pekerjaan dan tanggung jawab karyawan: supervisor harus berkomunikasi secara baik kepada karyawannya apa yang harus dilakukan dan apa harapan mereka.
4. mendesain stimulasi kerja: tugas yang mengizinkan karyawan menggunakan kemampuan mereka, pengetahuan profesionalnya dan penilaian, penawaran job enrichment, dan otonomi karyawan, dan
5. menyediakan informasi berkualitas kepada karyawan mengenai rencana perusahaan dan aktivitasnya; hal ini sangat penting selama perusahaan mengalami krisis. Karena pada saat itu karyawan akan merasa tidak aman dan tidak pasti mengenai masa depannya.
Kebijakan jangka panjang untuk meningkatkan komitmen afektif berasal dari kegiatan manajemen SDM nya yang akan berguna dalam jangka waktu lama, antara lain:
· Rekruitmen dan seleksi.
· Sosialisasi dan pelatihan.
· Perjanjian dan promosi
· Kompensasi dan keuntungan.
b. Aspek-aspek yang mempengaruhi Komitmen karyawan
Menurut Lee (1987: 67), untuk menggerakkan komitmen karyawan yang pada suatu organisasi, maka pihak manajemen/pimpinan organisasi dapat menggunakan lima faktor pendekatan utama yaitu;
1. Understanding employee work value
2. Communication job performance standard
3. Linking performance to reward
4. Providing effective performance evaluations
5. Offering support for managers and supervisory.
Menurut Schultz & Schultz (2002: 255), dan Allen &Meyer (1984: 373), komitmen terhadap organisasi dapat dibedakan dalam tiga jenis, masing-masing komitmen tersebut memiliki tingkat atau derajat yang berbeda. Ketiga jenis komitmen terhadap organisasi tersebut adalah:
a. Continuance commitment (komitmen kontinuan/rasional), adalah komitmen yang berdasarkan persepsi individu tentang kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan organisasi. Komitmen ini bisa disebut komitmen rasional. Seorang anggota tetap bertahan atau meninggalkan organisasi berdasarkan pertimbangan untung rugi yang diperolehnya. Anggota dengan tipe komitmen ini akan tetap bergabung dengan organisasi karena anggota tersebut membutuhkan organisasi. Menurut Schultz & Schultz (2002: 255) komitmen kontinuan ini juga disebut dengan behavioral commitment (komitmen sebagai perilaku), yaitu suatu proses yang menyebabkan individu menjadi terikat dengan organisasi dan bagaimana menghadapi masalah yang terjadi. Individu menjadi terikat pada kegiatan-kegiatan organisasi karena merasa investasinya di masa lalu akan hilang bila individu menghentikan kegiatan tersebut.
b. Normative Commitment (komitmen normatif) merupakan komitmen yang meliputi perasaan-perasaan individu tentang kewajiban dan tanggungjawab yang harus diberikan kepada organisasi, sehingga individu tetap tinggal di organisasi karena merasa wajib untuk loyal terhadap organisasi. Individu dengan tipe komitmen ini, akan tetap menjadi anggota organisasi karena harus mengerjakan tanggungjawabnya.
c. Affective Commitment (komitmen afektif) berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan individu di dalam suatu organisasi. Individu yang mempunyai komitmen ini mempunyai keterikatan emosional terhadap organisasi yang tercermin melalui keterlibatan dan perasaan senang serta menikmati peranannya dalam organisasi. Individu akan tetap bergabung dengan organisasi dikarenakan keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Menurut Schultz & Schultz (2002: 255) komitmen afektif disebut juga dengan attitudinal commitment (komitmen sebagai sikap), yaitu keadaan saat individu mempertimbangkan sejauhmana nilai dan tujuannya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Individu dengan tipe komitmen ini akan mengidentifikasikan dirinya dengan nilai dan tujuan organisasi, dan ingin mempertahankan keanggotaannya.
Selanjutnya secara singkat Allen dan Meyer (1990: 236) mengilustrasikan perbedaan dari ketiga dimensi tersebut sebagai berikut:
"Employees with strong affective commitment remain because they want to, those with strong continuance commitment remain because they need to, and those with strong normative commitment because they feel they thought to do so".
Berdasarkan pendapat Allen dan Meyer tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa keputusan seseorang tetap bertahan diorganisasi memiliki motivasi yang berbeda-beda. Seseorang dengan komitmen efektif yang kuat, bertahan di organisasi, karena memang dia menyukai organisasi itu, sedangkan seseorang dengan komitmen continuance yang kuat bertahan di organisasi, karena alasan kebutuhan hidup sebagai dorongan utamanya. Sedangkan seseorang dengan komitmen normatif yang kuat tetap bertahan di organisasi, karena alasan moralitas. Namun demikian, apapun sumber komitmen, secara substansial wujud komitmen adalah sama yaitu penerimaan individu terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan individu berupaya untuk mencapai tujuan organisasi, keinginan tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi.
Referensi
Robbins, P. Stephen, 2003. Organizational Behavior. Edisi 9. Prentice Hall International Inc. New Jersey.
Wiyono, F.X. Isbagyo, 1999. Menyamakan Persepsi tentang Komitmen dan Manajemen, Edisi I No. 126. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Meyer, Allen J., 1990. The Measurement and Antecedents of Affective, Continuance,and Normative Commitment to the Organization. Journal of Occupational Psychology. New York.
Schultz, D. dan Schultz, S. E., 2002. Psychology and Work Today. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Lee, Chris., 1987. The New Employment Contract. Training Journal.Vol. 24. No. 2 December. New York
Dordevic, Biljana, 2004. Employee Commitment In Times of Radical Organizational Changes, Facta Universitatis, series: Economic and Organizational Vol. 2, No.2, pp. 111-117
Shadur, M.A., Kinzle, R. and Rodwell, J.J., 1999. The Relations Between Organization Climate and Employee Perceptions of Involvement. Group and Organization Management, Vol.24, 4 December. Boston
No comments:
Post a Comment